

Study with the several resources on Docsity
Earn points by helping other students or get them with a premium plan
Prepare for your exams
Study with the several resources on Docsity
Earn points to download
Earn points by helping other students or get them with a premium plan
Community
Ask the community for help and clear up your study doubts
Discover the best universities in your country according to Docsity users
Free resources
Download our free guides on studying techniques, anxiety management strategies, and thesis advice from Docsity tutors
Tor workshop pelatihan jurnalistik
Typology: Schemes and Mind Maps
1 / 3
This page cannot be seen from the preview
Don't miss anything!
Latar belakang Pers memiliki banyak fungsi, selain sebagai pemberi informasi dan hiburan, pers juga berfungsi sebagai control sosial serta sarana pendidikan. Di luar itu, pers pun menjadi tumpuan bagi kalangan yang tidak memiliki akses kekuasaan ( powerless ) dalam memperjuangkan hak-haknya. Pers memiliki pengaruh besar dalam membentuk opini public karena sifatnya yang massif menjadikan sarana yang efektif dalam melakukan advokasi persoalan masyarakat. Salah satu persoalan masyarakat yang masih menjadi agenda nasional bahkan internasional adalah kesetaraan & keadilan gender. Gender dipopulerkan oleh kalangan akademisi, peneliti, dan juga para aktivis yang concern dengan isu perempuan. Bukan tanpa sebab jika tiba-tiba istilah gender muncul begitu saja, pastilah ada hal yang ingin diperjuangkan. Gender sebagai sebuah kontruksi sosial budaya yang membedakan peran antara perempuan dan laki-laki berimplikasi pada ketidakadilan salah satu jenis kelamin. Faktanya dari pembedaan peran tersebut, perempuan yang paling banyak mengalami ketidakadilan seperti subordinasi, marginalisasi, beban ganda, bahkan kekerasan di ranah domestik maupun di ruang publik. Cakupan ketidakadilan ini sangat luas diberbagai bidang, kesehatan, pendidikan, lingkungan, ekonomi, bahkan politik. Membutuhkan perhatian dan kerjasama banyak pihak, untuk mengangkat persoalan ketidakadilan gender di masyarakat, untuk mengajak masyarakat dan berbagai pihak berfikir kritis terhadap persoalan ini. Salah satunya adalah keberpihakan media pada isu tersebut. Media massa sebagai sebuah alat pemberitaan ataupun komunikasi pada masyarakat luas, bisa memuat fakta-fakta ketidakadilan gender sebagai bahan kajian reflektif. Media pun bisa sebenarnya menjadi sarana untuk membebaskan dan memberdayakan perempuan, serta memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender. Inilah yang sering disebut sebagai jurnalisme berperspektif gender, yaitu kegiatan atau praktek jurnalistik yang selalu menginformasikan adanya ketimpangan relasi antara laki-laki dan perempuan, atau representasi perempuan yang sangat bias gender. Saat ini memang faktanya sudah banyak media yang memberitakan tentang isu gender, secara khusus yakni persoalan kekerasan berbasis gender (KBG) seperti kekerasan seksual, trafficking, KDRT. Jika kita mengamati hampir setiap terjadi kasus KBG, sudah pasti dimuat dalam media massa. Di satu sisi pemberitaan ini menjadi bahan pembelajaran bagi masyarakat luas, bahan kajian reflektif bagi penyedia layanan korban KBG untuk semakin meningkatkan akses layanan bagi masyarakat korban. Namun di sisi lain, tulisan tentang pemberitaan yang terkadang dengan gaya bahasa yang menyudutkan korban seolah menempatkan korban sebagai sumber masalah. Dibumbui tulisan-tulisan vulgar mampu memprovokasi pembaca untuk berpikir dan mengimajinasikan perbuatan yang diberitakan secara sensual dan sensasional. Belum lagi identitas korban maupun keluarga korban sering tidak ditutupi terutama kasus KDRT, bahkan secara terbuka disampaikan identitasnya dengan lengkap. Media juga seringkali luput menjelaskan dampak yang dialami korban sehingga proses pembelajaran untuk tidak mencontoh perbuatan itu tidak berjalan dan justru menjadi pembelajaran yang negatif (meniru perbuatan asusila yang diberitakan). Pemberitaan yang hanya mengekspose satu sisi tubuh perempuan, tanpa memberi ruang bagi masyarakat untuk mencerna nilai kekerasan berbasis gender yang diangkat dalam pemberitaan pada akhirnya menempatkan korban (yang kebanyakan perempuan) menjadi korban yang kedua kalinya karena pemberitaan tersebut. Disini korban diposisikan sebagai obyek dari berita. Sementara berita yang menempatkan perempuan sebagai obyek belum bisa dikatakan mengandung pesan yang memperjuangkan isu-isu berperspektif gender. Media massa sebagai alat untuk mendorong upaya advokasi pada masyarakat luas, pemerintah, dan stakeholder seharusnya memuat pemberitaan yang bersifat kritis, transformatif, emansipatif, dan pemberdayaan social. Diharapkan ada keterpaduan dengan upaya-upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak dalam memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender serta keadilan social di masyarakat.
Berdasarkan gambaran situasi tersebut diatas, maka SPEK-HAM (Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia) berinisiatif mengundang kalangan jurnalistik untuk duduk bersama membangun pemahaman dan perpektif yang sama dalam merespon isu gender yang kemudian diimplementasikan dalam pemberitaan yang perspektif gender dalam sebuah pelatihan jurnalistik bertajuk “ Jurnalisme Berperspektif Gender” Tujuan yang diharapkan