Docsity
Docsity

Prepare for your exams
Prepare for your exams

Study with the several resources on Docsity


Earn points to download
Earn points to download

Earn points by helping other students or get them with a premium plan


Guidelines and tips
Guidelines and tips

Tor workshop jurnalistik, Schemes and Mind Maps of Journalism

Tor workshop pelatihan jurnalistik

Typology: Schemes and Mind Maps

2020/2021

Uploaded on 11/04/2021

arvind-derano
arvind-derano 🇮🇩

1 document

1 / 3

Toggle sidebar

This page cannot be seen from the preview

Don't miss anything!

bg1
Kerangka Acuan (TOR)
Pelatihan Jurnalistik
Jurnalisme Berperspektif Gender”
Solo, 16-17 Juli 2010
Latar belakang
Pers memiliki banyak fungsi, selain sebagai pemberi informasi dan hiburan, pers juga berfungsi
sebagai control sosial serta sarana pendidikan. Di luar itu, pers pun menjadi tumpuan bagi kalangan yang
tidak memiliki akses kekuasaan (powerless) dalam memperjuangkan hak-haknya. Pers memiliki pengaruh
besar dalam membentuk opini public karena sifatnya yang massif menjadikan sarana yang efektif dalam
melakukan advokasi persoalan masyarakat.
Salah satu persoalan masyarakat yang masih menjadi agenda nasional bahkan internasional adalah
kesetaraan & keadilan gender. Gender dipopulerkan oleh kalangan akademisi, peneliti, dan juga para aktivis
yang concern dengan isu perempuan. Bukan tanpa sebab jika tiba-tiba istilah gender muncul begitu saja,
pastilah ada hal yang ingin diperjuangkan. Gender sebagai sebuah kontruksi sosial budaya yang
membedakan peran antara perempuan dan laki-laki berimplikasi pada ketidakadilan salah satu jenis
kelamin. Faktanya dari pembedaan peran tersebut, perempuan yang paling banyak mengalami
ketidakadilan seperti subordinasi, marginalisasi, beban ganda, bahkan kekerasan di ranah domestik
maupun di ruang publik. Cakupan ketidakadilan ini sangat luas diberbagai bidang, kesehatan, pendidikan,
lingkungan, ekonomi, bahkan politik.
Membutuhkan perhatian dan kerjasama banyak pihak, untuk mengangkat persoalan ketidakadilan
gender di masyarakat, untuk mengajak masyarakat dan berbagai pihak berfikir kritis terhadap persoalan ini.
Salah satunya adalah keberpihakan media pada isu tersebut. Media massa sebagai sebuah alat
pemberitaan ataupun komunikasi pada masyarakat luas, bisa memuat fakta-fakta ketidakadilan gender
sebagai bahan kajian reflektif. Media pun bisa sebenarnya menjadi sarana untuk membebaskan dan
memberdayakan perempuan, serta memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender. Inilah yang sering
disebut sebagai jurnalisme berperspektif gender, yaitu kegiatan atau praktek jurnalistik yang selalu
menginformasikan adanya ketimpangan relasi antara laki-laki dan perempuan, atau representasi
perempuan yang sangat bias gender.
Saat ini memang faktanya sudah banyak media yang memberitakan tentang isu gender, secara
khusus yakni persoalan kekerasan berbasis gender (KBG) seperti kekerasan seksual, trafficking, KDRT. Jika
kita mengamati hampir setiap terjadi kasus KBG, sudah pasti dimuat dalam media massa. Di satu sisi
pemberitaan ini menjadi bahan pembelajaran bagi masyarakat luas, bahan kajian reflektif bagi penyedia
layanan korban KBG untuk semakin meningkatkan akses layanan bagi masyarakat korban. Namun di sisi
lain, tulisan tentang pemberitaan yang terkadang dengan gaya bahasa yang menyudutkan korban seolah
menempatkan korban sebagai sumber masalah. Dibumbui tulisan-tulisan vulgar mampu memprovokasi
pembaca untuk berpikir dan mengimajinasikan perbuatan yang diberitakan secara sensual dan sensasional.
Belum lagi identitas korban maupun keluarga korban sering tidak ditutupi terutama kasus KDRT, bahkan
secara terbuka disampaikan identitasnya dengan lengkap. Media juga seringkali luput menjelaskan dampak
yang dialami korban sehingga proses pembelajaran untuk tidak mencontoh perbuatan itu tidak berjalan
dan justru menjadi pembelajaran yang negatif (meniru perbuatan asusila yang diberitakan). Pemberitaan
yang hanya mengekspose satu sisi tubuh perempuan, tanpa memberi ruang bagi masyarakat untuk
mencerna nilai kekerasan berbasis gender yang diangkat dalam pemberitaan pada akhirnya menempatkan
korban (yang kebanyakan perempuan) menjadi korban yang kedua kalinya karena pemberitaan tersebut.
Disini korban diposisikan sebagai obyek dari berita. Sementara berita yang menempatkan perempuan
sebagai obyek belum bisa dikatakan mengandung pesan yang memperjuangkan isu-isu berperspektif
gender.
Media massa sebagai alat untuk mendorong upaya advokasi pada masyarakat luas, pemerintah,
dan stakeholder seharusnya memuat pemberitaan yang bersifat kritis, transformatif, emansipatif, dan
pemberdayaan social. Diharapkan ada keterpaduan dengan upaya-upaya yang dilakukan oleh berbagai
pihak dalam memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender serta keadilan social di masyarakat.
pf3

Partial preview of the text

Download Tor workshop jurnalistik and more Schemes and Mind Maps Journalism in PDF only on Docsity!

Kerangka Acuan (TOR)

Pelatihan Jurnalistik

“ Jurnalisme Berperspektif Gender”

Solo, 16-17 Juli 2010

Latar belakang Pers memiliki banyak fungsi, selain sebagai pemberi informasi dan hiburan, pers juga berfungsi sebagai control sosial serta sarana pendidikan. Di luar itu, pers pun menjadi tumpuan bagi kalangan yang tidak memiliki akses kekuasaan ( powerless ) dalam memperjuangkan hak-haknya. Pers memiliki pengaruh besar dalam membentuk opini public karena sifatnya yang massif menjadikan sarana yang efektif dalam melakukan advokasi persoalan masyarakat. Salah satu persoalan masyarakat yang masih menjadi agenda nasional bahkan internasional adalah kesetaraan & keadilan gender. Gender dipopulerkan oleh kalangan akademisi, peneliti, dan juga para aktivis yang concern dengan isu perempuan. Bukan tanpa sebab jika tiba-tiba istilah gender muncul begitu saja, pastilah ada hal yang ingin diperjuangkan. Gender sebagai sebuah kontruksi sosial budaya yang membedakan peran antara perempuan dan laki-laki berimplikasi pada ketidakadilan salah satu jenis kelamin. Faktanya dari pembedaan peran tersebut, perempuan yang paling banyak mengalami ketidakadilan seperti subordinasi, marginalisasi, beban ganda, bahkan kekerasan di ranah domestik maupun di ruang publik. Cakupan ketidakadilan ini sangat luas diberbagai bidang, kesehatan, pendidikan, lingkungan, ekonomi, bahkan politik. Membutuhkan perhatian dan kerjasama banyak pihak, untuk mengangkat persoalan ketidakadilan gender di masyarakat, untuk mengajak masyarakat dan berbagai pihak berfikir kritis terhadap persoalan ini. Salah satunya adalah keberpihakan media pada isu tersebut. Media massa sebagai sebuah alat pemberitaan ataupun komunikasi pada masyarakat luas, bisa memuat fakta-fakta ketidakadilan gender sebagai bahan kajian reflektif. Media pun bisa sebenarnya menjadi sarana untuk membebaskan dan memberdayakan perempuan, serta memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender. Inilah yang sering disebut sebagai jurnalisme berperspektif gender, yaitu kegiatan atau praktek jurnalistik yang selalu menginformasikan adanya ketimpangan relasi antara laki-laki dan perempuan, atau representasi perempuan yang sangat bias gender. Saat ini memang faktanya sudah banyak media yang memberitakan tentang isu gender, secara khusus yakni persoalan kekerasan berbasis gender (KBG) seperti kekerasan seksual, trafficking, KDRT. Jika kita mengamati hampir setiap terjadi kasus KBG, sudah pasti dimuat dalam media massa. Di satu sisi pemberitaan ini menjadi bahan pembelajaran bagi masyarakat luas, bahan kajian reflektif bagi penyedia layanan korban KBG untuk semakin meningkatkan akses layanan bagi masyarakat korban. Namun di sisi lain, tulisan tentang pemberitaan yang terkadang dengan gaya bahasa yang menyudutkan korban seolah menempatkan korban sebagai sumber masalah. Dibumbui tulisan-tulisan vulgar mampu memprovokasi pembaca untuk berpikir dan mengimajinasikan perbuatan yang diberitakan secara sensual dan sensasional. Belum lagi identitas korban maupun keluarga korban sering tidak ditutupi terutama kasus KDRT, bahkan secara terbuka disampaikan identitasnya dengan lengkap. Media juga seringkali luput menjelaskan dampak yang dialami korban sehingga proses pembelajaran untuk tidak mencontoh perbuatan itu tidak berjalan dan justru menjadi pembelajaran yang negatif (meniru perbuatan asusila yang diberitakan). Pemberitaan yang hanya mengekspose satu sisi tubuh perempuan, tanpa memberi ruang bagi masyarakat untuk mencerna nilai kekerasan berbasis gender yang diangkat dalam pemberitaan pada akhirnya menempatkan korban (yang kebanyakan perempuan) menjadi korban yang kedua kalinya karena pemberitaan tersebut. Disini korban diposisikan sebagai obyek dari berita. Sementara berita yang menempatkan perempuan sebagai obyek belum bisa dikatakan mengandung pesan yang memperjuangkan isu-isu berperspektif gender. Media massa sebagai alat untuk mendorong upaya advokasi pada masyarakat luas, pemerintah, dan stakeholder seharusnya memuat pemberitaan yang bersifat kritis, transformatif, emansipatif, dan pemberdayaan social. Diharapkan ada keterpaduan dengan upaya-upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak dalam memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender serta keadilan social di masyarakat.

Berdasarkan gambaran situasi tersebut diatas, maka SPEK-HAM (Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia) berinisiatif mengundang kalangan jurnalistik untuk duduk bersama membangun pemahaman dan perpektif yang sama dalam merespon isu gender yang kemudian diimplementasikan dalam pemberitaan yang perspektif gender dalam sebuah pelatihan jurnalistik bertajuk “ Jurnalisme Berperspektif Gender” Tujuan yang diharapkan

  1. Membangun forum-forum silaturrahmi untuk menjalin komunikasi yang lebih dekat dengan media massa dan komunitas.
  2. Belajar bersama untuk menguatkan pemahaman dan praktik jurnalisme berperspektif gender dalam konstelasi media massa di Karesidenan Surakarta.
  3. Membangun kepedulian berbagai pihak, dalam hal ini jurnalis/media massa untuk merespon isu gender.
  4. Membangun dukungan dari media massa yang positif dan sensitive gender terhadap pemberitaan Kekerasan Berbasis Gender.
  5. Membangun sikap kritis warga komunitas untuk mensikapi pemberitaan yang mengangkat isu-isu gender Pelaksanaan Hari/tanggal : 16 -17 Juli 2010 Waktu : Jumat Pukul 12.00 – Sabtu 11.30 WIB Tempat : Hotel Solo Inn*) Peserta Pelatihan ini akan melibatkan sekitar 30 orang peserta dari kalangan jurnalis baik media cetak, elektronik dan pers kampus serta masyarakat sipil lokal Fasilitator Pelatihan ini akan difasilitasi oleh : 1. Maria Hartiningsih (KOMPAS) “ Tekhnik Menulis Berita2. Vera Kartika Giantari (Direktur SPEK-HAM) “Perspektif Gender dan Kecenderungan Pemberitaan Media Massa” Jadwal dan Susunan Acara

JADWAL ACARA

WAKTU /JAM ACARA PENANGGUNG JAWAB

16 Juli 2010 (Hari Pertama)

12.00 Peserta chek in Panitia

13.30 – 14.00 Pembukaan, perkenalan&kontrak belajar Direktur SPEK-HAM

14.00 – 15.00 Curah Pendapat tentang Upaya

Perlindungan dan Pemenuhan Hak Asasi

Perempuan yang telah dilaksanakan di

masing-masing wilayah

Fasilitator

15.00 – 15.30 ISHOMA

15.30 – 16.30 Materi I :

Media sebagai salah satu alat promosi

hak-hak perempuan & perlindungan

Fasilitator

16.30 – 17.30 Materi II:

Teknik dasar penulisan dalam jurnalis

yang berperspektif gender

Fasilitator