









Study with the several resources on Docsity
Earn points by helping other students or get them with a premium plan
Prepare for your exams
Study with the several resources on Docsity
Earn points to download
Earn points by helping other students or get them with a premium plan
Community
Ask the community for help and clear up your study doubts
Discover the best universities in your country according to Docsity users
Free resources
Download our free guides on studying techniques, anxiety management strategies, and thesis advice from Docsity tutors
Bahasan Essay Perilaku Pembelian Kosmetik Berlabel Halal
Typology: Essays (university)
1 / 15
This page cannot be seen from the preview
Don't miss anything!
Nur Hadiati Endah Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi, LIPI Jl. Jend. Gatot Subroto No. 10, Jakarta Selatan nh.endah@gmail.com Abstrak Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia, ditambah dengan pertumbuhan permintaan produk halal yang menunjukkan tren positif, menjadikan Indonesia sebagai pasar yang potensial bagi produk kosmetik halal. Penelitian ini dilakukan untuk memahami perilaku pembelian kosmetik halal dan faktor- faktor yang mempengaruhi niat konsumen untuk membeli kosmetik berlabel halal. Penelitian yang bertumpu pada model Theory of Planned Behavior ini memilih sampel penelitian sebanyak 205 responden wanita yang mengetahui tentang kosmetik halal. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner lima poin skala Likert yang kemudian dianalisis dengan teknik statistik Structural Equation Modeling (SEM) dari LISREL 8.5. Hasil penelitian ini menemukan bahwa tiga anteseden dari intensi yaitu sikap, norma subjektif dan persepsi kendali perilaku memiliki pengaruh yang positif terhadap intensi konsumen untuk membeli kosmetik halal. Norma subjektif yang menggambarkan seberapa besar konsumen dipengaruhi oleh orang-orang di sekitarnya merupakan faktor yang memiliki pengaruh paling besar dan juga terbukti memiliki hubungan positif terhadap faktor sikap sehingga strategi pemasaran produk halal dapat lebih dioptimalkan melalui pendekatan kelompok. Kata Kunci: Kosmetik Halal, Islam, Pemasaran, Perilaku Konsumen, Structural Equation Modeling. Abstract Indonesia as the world’s largest Muslim population and an increasing trend in cosmetics demand, have made Indonesias a potential market for halal cosmetics products. This study was conducted to understand consumers’ purchasing behavior and factors that affect consumers’ intention to purchase halal cosmetics by using a model of the Theory of Planned Behavior. Total samples used are 205 female respondents who know about halal cosmetics. Data were collected using five points Likert-scale questionnaire and then analyzed using statistical techniques Structural Equation Modeling (SEM) of LISREL 8.5. The study found there three antecedents of intentions, which are attitude, subjective norm and perceived behavioral control, there have positive relationship on consumer intention to purchase halal cosmetics. Subjective norm that describeb, the degree how much consumers are influenced by surrounding people, has the greatest effect on intention and also have a positive relationship to the attitude, thus can be optimized in creating marketing strategy. Keywords : Halal Cosmetics, Islam, Marketing, Consumer Behavior, Structural Equation Modeling.
Pertumbuhan penduduk Muslim dunia dan peningkatan pendapatan di negara-negara mayoritas Muslim yang menunjukkan tren positif telah membawa peningkatan yang signifikan terhadap permintaan produk halal secara global. Jika sebelumnya pasar produk halal dianggap terbatas dan kurang menguntungkan, saat ini produk halal telah mampu menjadi primadona yang digunakan beberapa negara untuk meningkatkan devisa. Dengan potensi pasar yang diperkirakan mencapai $2,7 triliun secara global (World Halal Forum, 2013) dan permintaan yang tidak hanya datang dari konsumen Muslim, tampaknya menjadi motivasi bagi sejumlah negara seperti Malaysia, Thailand, Indonesia, dan Jepang berlomba menjadi pusat produk halal atau Halal Hub (Global Pathfinder Report, 2011). Seperti
dikutip dari Webb (2014), beberapa perusahaan asing seperti Tesco dan Sainsbury’s bahkan membuat lorong khusus yang menjual produk makanan halal. Permintaan produk halal ini pun tidak hanya untuk produk makanan saja namun telah meluas ke kategori produk lain seperti kosmetik, farmasi, jasa keuangan, dan pariwisata. Bagi umat Muslim mengkonsumsi produk halal merupakan sebuah kewajiban. Kata “halal” berasal dari bahasa Arab yang artinya diperbolehkan atau sesuai hukum Islam (Issa, Z., 2009; Borzooei dan Maryam, 2013). Lawan kata dari halal ini adalah haram yang berarti dilarang atau tidak diperbolehkan. Halal dan haram tidak hanya berhubungan dengan kegiatan konsumsi namun terkait dengan seluruh kegiatan yang dilakukan manusia seperti kegiatan berdagang yang harus bersih dari unsur riba dan perbuatan curang. Hukum mengenai kehalalan suatu hal mengacu pada Al-Qur’an dan Hadits, seperti pada Al Qur’an surat Al-Baqarah ayat 168. “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu ” (QS. 2:168) Sebagai negara dengan lebih dari 200 juta (80,2%) penduduk menganut agama Islam dapat dikatakan Indonesia adalah pasar yang potensial bagi produk halal. Bagi konsumen (Muslim) Indonesia, status kehalalan produk merupakan isu yang sensitif karena berhubungan dengan kehidupan spiritual dimana konsumen meyakini bahwa perbuatan melanggar aturan agama seperti mengkonsumsi produk yang tidak halal akan membawa konsekuensi tidak hanya di kehidupan sekarang namun juga di kehidupan lain ( akhirat). Perusahaan besar sekalipun dalam tempo singkat bisa kehilangan pasar ketika produk yang ditawarkan diduga mengandung zat yang tidak halal. Sucipto (2009) mengatakan bahwa kelompok sadar halal di Indonesia semakin besar dan pemerintah sedang mempersiapkan undang-undang mengenai jaminan halal. Adanya perkembangan informasi dan teknologi yang begitu pesat akan semakin meningkatkan kesadaran konsumen ( consumer awareness) terhadap produk halal (Lada, 2009). Hal ini berarti masalah “halal” nantinya tidak hanya isu religi saja namun bisa menjadi isu nasional yang serius. Ketika berbicara mengenai kehalalan suatu produk tidak bisa terlepas dari konsep thoyyib. Jika halal mengacu pada hukum boleh atau tidaknya suatu produk dikonsumsi, thoyyib lebih menekankan pada aspek kualitas produk seperti kandungan gizi, kebersihan dan keamanan produk, kesehatan, keterjangkauan harga, serta manfaat lainnya. Konsep thoyyib pada produk halal mensyaratkan produsen produk halal memproduksi produk yang benar-benar berkualitas dan bermanfaat. Aspek thoyyib ini pula dapat dikatakan sebagai keunggulan daya saing untuk produk-produk halal. Rezai et all (2012) dan Rahim et al (2013) dalam mengatakan bahwa konsumen produk halal tidak hanya berasal dari kalangan Muslim namun juga dari konsumen non Muslim di Malaysia yang menikmati keunggulan rumah makan yang sudah bersertifikat halal sebagai rumah makan yang menyajikan produk yang bersih dan berkualitas. Namun demikian, jika dicermati dari fenomena produk halal yang terjadi belakangan ini, produsen produk halal global masih cenderung “bermain aman” dengan memilih pasar makanan seperti daging, susu, dan produk olahan hewan lainnya. Hal ini sangat wajar mengingat makanan merupakan kebutuhan dasar manusia, di samping kesadaran konsumen ( consumer awareness) terhadap kehalalan produk non makanan juga masih rendah. Akibatnya, tingkat persaingan semakin ketat sehingga hambatan untuk masuk bagi pemain baru semakin besar dan tingkat margin yang ditawarkan semakin tipis. Para produsen tidak hanya bersaing dengan produk lokal namun juga produk import. Persaingan yang begitu ketat ini sebenarnya tidak perlu terjadi jika produsen bisa menemukan area lain di pasar produk halal yang masih memiliki peluang besar seperti produk farmasi dan kosmetik. Di Indonesia sendiri untuk produk kosmetik, baru 41 merek kosmetik yang sudah memiliki sertifikat halal dari Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), sementara sebagian besar lainnya (umumnya merupakan merek asing) belum memiliki sertifikat halal. Hal ini tentu sangat disayangkan mengingat Indonesia
merek sehingga menciptakan sikap ( attitude ) dan intensi yang merupakan faktor pencetus sebuah perilaku. Konsumen yang memiliki afiliasi yang sama akan berbagi sistem kognisi yang sama (Mokhlis, 2006). Theory of Planned Behavior Dengan semakin bertambahnya jumlah produsen yang hadir di pasar, menciptakan pilihan-pilihan baru untuk konsumen. Penentuan produk mana yang akan dibeli oleh konsumen akan melibatkan proses kognitif yang dimulai dari evaluasi terhadap produk tersebut hingga timbulnya niat untuk membeli, kecuali untuk pembelian impulsif (Peter dan Jerry, 2005). Peneliti dan produsen biasanya menggunakan faktor niat ini untuk mengukur potensi penjualan di masa depan, namun mengukur niat bukan hal yang mudah karena niat merupakan faktor internal yang abstrak (tidak bisa dirasakan melalui panca indra). Teori perilaku terencana ( Theory of Planned Behavior ) merupakan model yang umum digunakan untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan dan perilaku pembelian konsumen terhadap produk tertentu. Menurut teori ini sebuah perbuatan diawali dengan Niat ( intention ) dimana niat tersebut dipengaruhi oleh tiga faktor internal yaitu: Sikap ( attitude ), Norma Subjektif ( subjective norms ), dan Persepsi Kendali Perilaku ( perceived behavioral control ). Pada penelitian ini, peneliti menggunakan TPB untuk mengetahui faktor apa yang memiliki pengaruh dominan terhadap niat untuk membeli kosmetik berlabel halal. Landasan berpikir yang digunakan pertama, perilaku pembelian yang dimaksud adalah perilaku yang melalui proses kognisi (bukan impulsive buying). Kedua, faktor- faktor tersebut merupakan faktor internal artinya meskipun dalam teori ekonomi klasik harga dianggap sebagai fungsi (utama) dari permintaan namun dalam penelitian ini harga tidak dilihat secara terpisah namun lebih melihat ketika harga sudah terinternalisasi ke dalam sistem kognisi konsumen dan membentuk persepsi seperti: “saya suka produk X dengan tingkat harga tersebut” atau “dengan harga tersebut saya (konsumen) merasa Gambar 1. Model Proses Kognitif dalam Pengambilan Keputusan Konsumen Sumber : Peter dan Jerry , 2005
mampu/tidak mampu untuk membeli produk”, dan sebagainya. Sikap ( Attitude ) Sikap menggambarkan hasil evaluasi seseorang terhadap suatu entitas (objek maupun perbuatan), apakah dia suka atau tidak suka (Azjen, 1991; Peter dan Jerry, 2005; Mokhlis, 2006). Seseorang akan cenderung memiliki “niat” lebih untuk melakukan sesuatu jika kegiatan tersebut adalah hal yang disukainya. Ketika konsumen merasa senang atau suka membeli kosmetik halal maka konsumen akan cenderung memiliki niat untuk membeli kosmetik halal lagi di masa depan.
1. Norma Subjektif (Subjective Norms) Seorang pemasar selain perlu memperhatikan sikap konsumen terhadap produk yang ditawarkan, pemasar juga perlu peka terhadap lingkungan sekitar konsumen. Secara singkat, dapat dikatakan norma subjektif ini adalah persepsi individu atas orang-orang yang penting bagi dirinya terhadap suatu objek. Jika sikap didorong dari hasil evaluasi diri sendiri, lain halnya dengan norma subjektif yang berasal dari pengaruh luar ( normative belief ). Hal ini membuat perspektif sosial ataupun organisasi sangat berpengaruh terhadap pembentukan persepsi seorang konsumen Muslim. Semakin banyak orang yang penting bagi dirinya menganjurkan untuk membeli kosmetik halal maka dia akan cenderung memiliki niat yang lebih untuk membeli kosmetik halal. Norma subjektif ini akan semakin kuat ketika seseorang atau konsumen berada di situasi yang lebih diktator (Vencantesh dan Davis, 2000). Konsumen Muslim yang memiliki religiositas tinggi umumnya cenderung akan memiliki kesadaran yang lebih tinggi untuk mengkonsumsi produk halal^9. Di samping itu, kelompok konsumen ini juga cenderung memiliki ikatan sosial yang kuat karena frekuensi melakukan ibadah secara berjamaah yang lebih sering sehingga akan semakin besar normative belief pada diri konsumen. Penelitian sebelumnya mengenai produk halal dengan menggunakan model TPB menunjukkan bahwa sikap dan norma subjektif merupakan faktor yang signifikan mempengaruhi intensi seseorang untuk mengkonsumsi produk halal (Soesilowati, 2009; Lada et al, 2009; Tarqiainen dan Sundqvist, 2005; Bonne et al, 2010). 2. Persepsi Kendali Perilaku ( Perceived Be- havioral Control) Azjen (1991) mendefinisikan variabel persepsi kendali perilaku sebagai seberapa jauh seseorang percaya atau merasa mampu untuk melakukan sesuatu. Variabel ini ditentukan oleh keyakinan individu mengenai kekuatan baik situasional dan faktor internal untuk memfasilitasi perilaku. Semakin seseorang mempersepsikan dirinya mampu maka akan semakin besar intensi seseorang untuk melakukan suatu perbuatan. Jika seseorang mempersepsikan dirinya memiliki sumber daya untuk membeli kosmetik halal, maka niat untuk membeli kosmetik dengan label halal akan semakin besar. Penelitian yang dilakukan oleh Alam dan Nazura (2011) dan Vencantesh (2000), menunjukkan adanya pengaruh signifikan variabel persepsi kendali perilaku terhadap intensi pembelian produk halal. Beberapa penelitian yang menggunakan TPB untuk menganalisis perilaku konsumen terhadap produk halal diantaranya: Lada (2009), Soesilowati (2010), dan Alam dan Nazura (2011). Lada (2009) hanya menggunakan dua determinan, yaitu Sikap dan Norma Subjektif, untuk melihat pengaruhnya terhadap niat seseorang mengkonsumsi makanan halal. Dalam penelitian tersebut, Lada^17 menemukan bahwa variabel Norma Subjektif turut memiliki pengaruh terhadap variabel Sikap. Adapun penelitian yang dilakukan oleh Soesilowati (2009) memperlihatkan variabel Norma Subjektif memiliki pengaruh paling kecil terhadap niat seseorang untuk mengkonsumsi makanan halal, dibandingkan dengan Sikap dan Persepsi Kendali Perilaku. Alam dan Nazura (2011) pernah pula menggunakan TPB untuk menganalisis niat seseorang dalam membeli makanan halal. Penelitian tersebut mengkonfirmasi adanya pengaruh positif dari ketiga faktor determinan - Sikap, Norma Subjektif dan Persepsi Kendali Perilaku- terhadap niat seseorang untuk membeli makanan halal, dimana variabel Sikap memiliki nilai koefisien yang paling besar. Penelitian ini dilakukan untuk melengkapi keterbatasan dari penelitian sebelumnya yang hanya menganalisis niat konsumen untuk
merupakan teknik regresi yang dilakukan secara simultan dan umum digunakan untuk mengukur variabel yang abstrak (tidak berwujud sehingga tidak dapat diamati langsung melalui panca indera). Langkah pertama yang dilakukan dalam SEM adalah pengujian model pengukuran. Pengujian ini dilakukan dengan memeriksa (a) nilai t-value dari standardized loading factor (SLF) variabel pengukuran/indikator pertanyaan dalam model nilainya harus ≥1,96 pada tingkat signifikansi sebesar 5%; (b) nilai SLF dari variabel pengukuran dalam model harus ≥ 0,70 atau ≥ 0,50. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan saran dari Igbaria (1997), dimana batas nilai SLF dari variabel pengukuran dalam model adalah ≥0,50. Selain kedua pilihan batas kritis, Igbaria dalam Wijanto^22 menambahkan, jika ada nilai SLF <0,50 tetapi masih ≥ 0,30 maka variabel terkait bisa dipertimbangkan untuk tidak dihapus. Kemudian untuk mengetahui reliabilitas model pengukuran penelitian melihat dari Construct Reliability (CR) dan Variance Extracted (VE) dari nilai-nilai Standardized Loading Factors dan Error Variances melalui persamaan di bawah ini: Setelah melakukan uji model pengukuran, langkah selanjutnya adalah melakukan uji struktural untuk melihat apakah model yang diteliti sudah fit. Beberapa kriteria yang digunakan untuk menentukan apakah model fit atau tidak dalam penelitian ini diantaranya: nilai Root Mean Square Error Average (RMSEA), chi-square, p-value, Standardized Root Mean Square Residual (RMSR), Goodness-of-Fit Index (GFI), dan Normed Fit Index (NFI). HASIL DAN PEMBAHASAN Mayoritas responden dalam penelitian ini berada di usia yang cukup muda yaitu 15-20 tahun dengan komposisi yang beragama Islam sebanyak 90,73%; Katolik 2,93%; Protestan 5,36%; dan Hindu 0,98%. Pemilihan responden yang tidak hanya beragama Islam bertujuan untuk melihat faktor yang bersifat umum, artinya tidak melihat kepada aspek religiositas seseorang. Tabel 1. Demografi Responden Frekuensi (^) % Usia < 15 tahun 15 – 20 tahun 21 – 30 tahun
30 tahun 1 107 95 2 0, 52, 46, 0, Agama Islam Katolik Protestan Hindu Budha 186 6 11 2
Pendidikan SMP SMA D S Paska Sarjana 1 134 8 61 1 0, 65, 3, 29, 0, Afiliasi/Pekerjaan Tidak bekerja Mahasiswa Pegawai Negeri Pegawai Swasta Wiraswasta Profesional Lainnya 2 150 7 39 3 0 4 0, 73, 3, 19, 1, 0, 1, Pengalaman Pembelian Kosmetik Halal Pernah Belum pernah Sumber Informasi Kosmetik Halal Iklan Teman Keluarga Lainnya (seminar, bazaar, website) 151 54 119 51 22 13 73, 26, 58, 24, 10, 6, Sumber: Data Primer, 2012, Diolah Kemudian sebagian besar responden yang memiliki pendidikan terakhir SMA (65,37%) dan Sarjana S1 (29,75%) sehingga dapat dikatakan responden cukup berpendidikan. Sampel yang didominasi oleh responden pada tingkat pendidikan terakhir SMA dan S1 disebabkan oleh daerah pengambilan sampel yang berada di sekitar kampus Universitas Indonesia, Depok. Hal
ini pun sejalan dengan pekerjaan responden yang umumnya masih berstatus mahasiswa (73,17%). Segmen wanita muda biasanya menjadi target pasar utama bagi produsen kosmetik (Hasyim dan Musa, 2014). Pada tingkat usia tersebut kesadaran konsumen untuk tampil menarik cenderung lebih tinggi karena didorong dari interaksi sosial yang lebih banyak dibandingkan dengan tingkat usia lain, namun pada tingkat usia tersebut umumnya kondisi keuangan konsumen masih belum mapan sehingga sensitivitas terhadap harga cukup tinggi. Meskipun demikian, konsumen menganggap kosmetik halal sebagai sebuah kebutuhan. Terdapat sebanyak 151 orang responden (74%) yang pernah membeli kosmetik halal (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa responden sudah memiliki pengetahuan yang cukup baik mengenai kosmetik halal berdasarkan pengalaman pembelian kosmetik halal sebelumnya. Selain itu, sumber utama responden untuk mendapatkan informasi mengenai kosmetik halal adalah dari iklan (58%) dan teman (25%). Hal ini berarti iklan masih menjadi media promosi yang paling efektif untuk memasarkan kosmetik halal. Iklan dalam hal ini tidak hanya iklan televisi dan radio, namun juga termasuk iklan di media cetak ataupun banner di website lain. Memasarkan produk halal bukan merupakan hal yang mudah, produsen harus mengikuti aturan atau etika dalam Islam. Hal ini karena bagi konsumen Muslim, halal tidak hanya sekedar elemen merek, halal adalah sistem keyakinan dan kode etik berperilaku (Aziz, 2010; Jonathan dan Jonathan, 2010). Meskipun demikian, produsen juga harus berhati-hati agar tidak menimbulkan persepsi produk halal sebagai produk yang “hanya untuk konsumen Muslim”. Sementara itu, teman sebagai sumber informasi kedua setelah iklan menunjukkan adanya peran Word of Mouth dalam pemasaran kosmetik halal. WOM yang positif sendiri merupakan bentuk kepuasan konsumen terhadap produk dan WOM positif inilah yang diharapkan oleh produsen. Analisis Perilaku Dari 205 responden yang digunakan dalam penelitian ini terdapat 151 responden (73,66%) yang pernah membeli kosmetik berlabel halal, sementara 54 responden lainnya (26,34%) yang belum pernah membeli kosmetik berlabel halal namun sudah mengetahui keberadaan produk tersebut di pasar (Tabel 2). Tabel 2. Perilaku Pembelian Kosmetik Halal Kategori Frekuensi Persentase Pengalaman membeli Pernah Tidak Pernah 151 54 73,66% 26,34% Tujuan Penggunaan Kosmetik Untuk mendukung penampilan Menjaga kesehatan Tuntutan pekerjaan Mengikuti aturan agama Untuk merawat tubuh 64 109 2 23 7 31,22% 53,17% 0,98% 11,22% 3,41% Tempat biasa membeli kosmetik Supermarket Departemen store Toko kecantikan Salon Lainnya 84 69 39 2 11 40,98% 33,66% 19,02% 0,98% 5,36% Faktor yang mendorong pembelian Kemasan yang menarik Harga Iklan Rekomendasi teman/ keluarga Lainnya 12,46% 22,85% 23,15% 34,42% 7,14% Sumber: Data Primer, 2012, Diolah Dilihat dari tujuan penggunaan kosmetik, umumnya konsumen menggunakan kosmetik untuk menjaga kesehatan (53,17%), untuk mendukung penampilan (31,22%), mengikuti aturan agama (23%), untuk merawat tubuh (7%) dan karena tuntutan pekerjaan (2%). Adapun tempat konsumen biasa membeli kosmetik berlabel halal yaitu di supermarket (40,98%), department store (33,66%), toko kecantikan (19,02%), salon (0,98%), dan tempat lainnya seperti: toko online, bazar, dan agen (5,36%). Kemudian dilihat dari faktor yang mendorong pembelian kosmetik halal, sebanyak 34,42% responden mengaku faktor utama yang mendorong untuk membeli kosmetik halal adalah rekomendasi dari orang terdekat, sementara 23,15% dan 22,85% responden membeli kosmetik halal karena melihat iklan dan harga yang terjangkau. Hal ini menunjukkan lingkungan sosial memiliki dampak yang besar terhadap keputusan pembelian produk kosmetik.
Pada saat uji model struktural nilai RMSEA awal diperoleh sebesar 0,102 yang berarti model tidak fit sehingga perlu dilakukan respesifikasi model struktural dan diperoleh nilai 0,077. Nilai chi-square turun menjadi 545,76; GFI=0,82, dan NFI=0,88 yang mengindikasikan secara umum model sudah fit. Adapun nilai-nilai untuk uji kecocokan model struktural lainnya cukup baik seperti yang dapat dilihat pada Tabel 4. Nilai estimasi hubungan antara variabel- variabel independen dan variabel dependen berturut-turut dapat dilihat pada Tabel 5. Nilai R-square yang diperoleh dari persamaan tersebut sebesar 0.59 yang menunjukkan bahwa variabel terikat “niat” dapat dijelaskan oleh variabel sikap, norma subjektif, dan persepsi kendali perilaku sebesar 59%. Hal ini berarti ketiga variabel bebas tersebut (sikap, norma subjektif, dan persepsi kendali perilaku) mampu mempengaruhi niat konsumen untuk membeli kosmetik halal. Dari tabel 5 tampak variabel “sikap” secara signifikan mempengaruhi niat konsumen untuk membeli kosmetik halal. Seperti yang diketahui sikap merupakan hasil dari evaluasi konsumen terhadap produk halal, bisa dari pengalaman pribadi, pengalaman orang lain, ataupun iklan yang dilihat oleh konsumen (Peter dan Jerry, 2005; Lada et al, 2009). Sikap yang positif menggambarkan rasa puas konsumen terhadap produk. Rasa puas tersebut timbul ketika produk yang ditawarkan dapat memenuhi bahkan melebihi ekspektasi konsumen. Kosmetik halal membawa dua ekspektasi konsumen yaitu dari sisi sebagai kosmetik itu sendiri dan ekspektasi dari label halal yang digunakan. Konsumen akan melakukan pembelian berulang atas suatu produk berdasarkan kualitas nyata dari produk yang ditawarkan yang meliputi: bahan baku, tekstur produk, warna dan atribut fungsional seperti daya tahan produk, kecepatan produk memberi hasil, kecakapan hasil yang diberikan, Tabel 4. Hasil Goodness of Fit Model Struktural Ukuran Goodness of Fit Nilai Keterangan Consistent Akaike Informational Criterion (CAIC) 896. Saturated CAIC 1896.90 Good Fit Independence CAIC 4713. Standardized Root Mean Square Residuan (RMR) 0.045 Good Fit Goodness-of-Fit Index (GFI) 0.82 Marginal Fit Normed Fit Index (NFI) 0.88 Marginal Fit Non-Performed Fit Index (NNFI) 0.92 Good Fit Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI) 0.78 Poor Fit Relative Fit Index (RFI) 0.86 Marginal Fit Incremental Fit Index (IFI) 0.93 Good Fit Comparative Fit Index (CFI) 0.93 Good Fit Critical Number (CN) 112.09 Poor Fit Sumber: Data Primer, 2012, Diolah Tabel 5. Analisis Hubungan Kausal No. Path β t-value P-sig Kesimpulan 1 Sikap to Intensi 0,27 3,23 0,001321 Signifikan 2 Norma Subjektif to Intensi 0,49 5,27 2,05E-07 Signifikan 3 Norma Subjektif to Sikap 0,69 9,54 6,77E-20 Signifikan 4 Persepsi Kendali Perilaku to Intensi 0,19 2,96 0,003226 Signifikan R-square (reduced form equations) 0, Sumber: Data Primer, 2012, Diolah
dan sebagainya (Khraim, 2011). Di samping itu, produk yang memposisikan sebagai produk halal memiliki pengawasan yang lebih ketat, tidak hanya terhadap bahan yang digunakan namun juga proses manajemen dibaliknya dan suasana toko (Jonathan dan Jonathan, 2010). Konsumen modern saat ini menginginkan kosmetik yang tidak hanya fungsional namun juga aman, sehat, dan ramah lingkungan (Kim dan Chung, 2011). Konsumen produk halal juga memiliki ekspektasi bahwa produk halal adalah produk yang berkualitas, aman, sehat dan tidak menyakiti hewan (Golnaz et al, 2010). Meskipun harga merupakan faktor yang penting bagi konsumen, namun Khraim (2011) menemukan bahwa konsumen yang puas terhadap kualitas dan pelayanan purna jual suatu merek kosmetik akan tetap membeli meskipun harga kosmetik tersebut relatif lebih mahal. Variabel norma subjektif memiliki nilai β paling besar dari dua variabel lain yaitu sebesar 0,69 dan signifikan pada tingkat kepercayaan 95%. Hal ini berarti orang-orang penting di sekitar konsumen atau faktor lingkungan sosial terdekat seperti keluarga dan teman memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam pembuatan keputusan pembelian oleh konsumen. Konsumen akan memiliki niat atau motivasi yang kuat untuk membeli kosmetik halal jika lingkungan sosialnya menyarankan untuk membeli kosmetik halal atau konsumen melihat lingkungan sosial tersebut menggunakan kosmetik halal. Konsumen muda menggunakan kosmetik dan fashion untuk bisa mengatasi perubahan sosial dan budaya (Khraim, 2011), sementara konsumen pria di Kanada cenderung membeli kosmetik yang menggambarkan gaya hidupnya dimana gaya hidup dibentuk oleh faktor-faktor seperti kelas sosial dan sistem nilai (Nizar dan Diagne, 2009). Gaya hidup memiliki asosiasi terhadap kelompok tertentu. Ketika konsumen memilih gaya hidup tertentu maka ia akan terikat dengan kelompok yang direpresentasikan sehingga dalam memilih kosmetik pun konsumen akan membeli kosmetik yang sudah “diterima” atau direkomendasikan oleh kelompok referensi. Bagi konsumen, mengkonsumsi produk halal saat ini sudah menjadi gaya hidup dan budaya (Rahim et al, 2013) dimana budaya akan membentuk persepsi dari orang-orang yang terikat dengan budaya tersebut sehingga pada akhirnya “halal” akan menjadi keunggulan daya saing bagi produk (Jonathan dan Jonathan, 2010). Keluarga merupakan institusi sosial yang paling dekat dengan individu dan menjadi tempat belajar pertama kali bagi seseorang. Contoh yang diterima oleh konsumen dari keluarganya kemudian terinternalisasi ke dalam diri dan menjadi sesuatu yang membentuk perilaku konsumen di masa depan. Umumnya kosmetik pertama yang digunakan oleh konsumen merupakan kosmetik yang biasa digunakan oleh anggota keluarga yang lebih tua ataupun teman dekatnya. Bagi konsumen Muslim, di dalam Al- Qur’an surat At-Tahrim ayat 6 terdapat perintah untuk melindungi anggota keluarga dari perbuatan yang melanggar aturan agama sehingga konsumen akan sebisa mungkin menghindari anggotanya dari menggunakan kosmetik yang tidak halal dan merekomendasikan untuk membeli kosmetik halal. Berbeda dengan masyarakat di negara barat yang memiliki budaya individualis yang tinggi, budaya kolektif pada umat Muslim yang cukup besar (Bonne et al, 2007). Variabel persepsi kendali perilaku pada penelitian ini memiliki pengaruh yang signifikan terhadap niat konsumen untuk membeli kosmetik halal sebesar 0,19. Hal ini berarti semakin konsumen merasa dirinya mampu untuk membeli kosmetik halal maka akan semakin besar niat konsumen untuk membeli kosmetik halal. Harga dan distribusi produk merupakan dua faktor yang mempengaruhi persepsi “mampu atau tidaknya konsumen”. Harga jual produk yang tinggi dan produk yang langka dan sulit didapat akan membuat konsumen merasa tidak mampu untuk membeli sehingga menurunkan niat konsumen untuk membeli kosmetik halal. KESIMPULAN Penelitian dilakukan untuk menganalisis perilaku dan faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pembelian kosmetik berlabel halal oleh konsumen wanita di Indonesia. Perilaku pembelian diasumsikan terbentuk dari proses kognisi dan dengan mengadopsi model Theory of Planned Behavior diketahui sikap, norma subjektif, dan persepsi kendali perilaku memiliki
Peter, J.P dan Jerry C. Olson, 2005. Consumer Behavior and Marketing Strategy. (7th ed). New York: McGraw-Hill. 578 hlm. Rahim, N.F., Shafii Zurina, Shahwan Syahidawati, 2013. Awareness and Perception of Muslim Consumers on Non- Food Halal Product. Journal of Social and Development Sciences. 4(10): 478-487. Rezai, G., Zainalabidin Mohamed, Mad Nasri Shamsudin, 2012. Non-Muslim Consumers’ Understanding of Halal Principles in Malaysia. Journal of Islamic Marketing. 3(1): 35-46. Salehudin, I., dan Lutfhi, 2011. Marketing Impact of Halal Labeling Toward Indonesian Muslim Consumer’s Behavioral Intention. ASEAN Marketing Journal. 3(1): 35 – 44. Soesilowati, E. S.,2010. Business Opportunity for Halal Products in Global Market: Moslem Consumer Behavior and Halal Food Consumption. Journal of Indonesian Social Science and Humanities. 3: 151-160. Tarkiainen, A. dan Sundqvist, 2005. Subjective Norms, Attitudes and Intentions of Finnish Consumers in Buying Organic Food. British Food Journal. 107 (11): 802-822. Taylor, S. & Todd, P, 1995. Decomposition and Crossover Effects in The Theory of Planned Behavior: A Study of Consumer Adoption Intentions. International Journal of Research in Marketing. 12: 137-56. Vencatesh, V. and Davis, F.D, 2000. Theoretical Extension of The Technology Acceptance Model: Four Longitudinal Field Studies. Management Science. 46 (2): 186-204. Webb, S., 2014. Asda, Sainsbury’s and Tesco All Sell Halal Meat From “Live Kill” Animals That Have Not Been Stunned. ( http://www. dailymail.co.uk/news/article-2626032/ Asda-Sainsburys-Tesco-sell-halal-meat- live-kill-animals-not-stunned.html ). Wijanto, S.H., 2008. Structural Equation Modelling dengan LISREL 8,8 : Konsep dan Tutorial. Graha Ilmu : Yogyakarta World Halal Forum, 2013. ( http://www. worldhalalforum.org/whf_intro.html, diakses Februari 2014).
Lampiran: Tabel Operasionalisasi Variabel Variabel Definisi^ Indikator Pertanyaan^ Sumber Sikap ( attitude) terhadap kosmetik berlabel halal